Kupang
Bhayangkaranews24.Id
Minggu 21/09/2025
Dugaan praktik penipuan dengan modus calo penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menyeret nama seorang hakim di Pengadilan Agama Kupang, Irwahidah MS, S.Ag, MH.
Ia dilaporkan oleh sejumlah korban karena diduga menggelapkan dana hingga miliaran rupiah dengan janji meloloskan anak-anak korban dalam seleksi CPNS.
Salah satu pelapor, SLD, warga Kelurahan Manumutin, Kecamatan Kota Atambua, mengaku tertipu setelah mempercayai janji sang hakim.
“Kami percaya karena yang bersangkutan adalah hakim dan mengaku sebagai panitia seleksi CPNS. Namun setelah uang disetor, janji tidak pernah ditepati,” ujarnya kepada wartawan, Sabtu (20/9/2025).
Bersamanya, terdapat 12 korban penipuan lain yang tersebar di Kabupaten Belu dan Malaka. Masing-masing dari mereka menyetor uang dengan nominal yang variatif.
Sosok penerima penghargaan sebagai Patriot Bela Negara dari Mantan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu berkisah bahwa dirinya sudah tiga kali bertemu langsung dengan Irwahidah di Kupang.
Pertemuan tersebut bermaksud meminta kejelasan dan pengembalian uang. Namun demikian, pertemuan bersama sang hakim tak membuahkan hasil. Ia hanya diberi janji kosong.
Karena tidak ada titik terang, ia kemudian mencari pendampingan hukum dari pengacara Chandra Goba dan Dolan Coling di Jakarta.
“Saya sudah berulangkali ditipu ibu hakim. Karena itu, saya ke Jakarta dan meminta perlindungan hukum melalui teman-teman pengacara di sini. Saya harap ini bisa beri jalan keluar buat saya,” katanya.
*Modus dan Jalannya Penipuan*
Berdasarkan keterangan korban, Irwahidah mengaku sebagai panitia seleksi CPNS di Kementerian Hukum dan HAM.
Ia menjanjikan bahwa setiap peserta yang menyetor sejumlah uang akan dijamin lulus, sementara tes hanya sebatas formalitas.
Korban Juliana Soi menceritakan awal mula perkenalannya dengan Irwahidah melalui pasangan Muhammad Faisal dan Zaenab di Atambua pada Juni 2024.
Ia kemudian dijanjikan bisa meloloskan dua anaknya dengan membayar Rp175 juta per orang.
“Pertama saya transfer Rp5 juta tanggal 3 Juni 2024, lalu Rp50 juta tunai di rumah Muhammad Faisal pada 13 Juni 2024, dan beberapa kali transfer lagi ke rekening pribadi Ibu Irwah hingga total mencapai Rp250 juta,” ujar Juliana dalam sebuah keterangan.
Dari jumlah itu, Juliana hanya sempat menerima pengembalian Rp40 juta. Sisanya, sekitar Rp210 juta, hingga kini belum dikembalikan.
Kesaksian serupa datang dari korban Duarte Tilman. Ia mengaku dikenalkan kepada Irwahidah oleh orang yang sama, dan tergiur janji kelulusan CPNS dengan setor Rp225 juta untuk anak berijazah sarjana.
“Saya sudah setor tunai Rp25 juta di Atambua, lalu transfer Rp80 juta, Rp30 juta, Rp20 juta, dan Rp10 juta ke rekening Ibu Irwah pada Juli 2024. Total Rp165 juta, dan sampai hari ini tidak ada pengembalian sama sekali,” tutur Duarte.
*Desakan Hukum*
Pengacara korban, Chandra Goba, menilai kasus ini bukanlah kasus biasa dan berpotensi mencoreng nama baik lembaga peradilan.
“Modus penipuan ini sungguh mencoreng institusi pengadilan. Karena itu, saya meminta Kepala Pengadilan Agama Kupang untuk menindak tegas hakim terlapor,” tegasnya di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).
Ia mendesak agar seluruh uang korban dikembalikan, mengingat para korban mayoritas berasal dari keluarga dengan ekonomi terbatas.
Senada, pengacara Dolan Coling menegaskan bahwa pihaknya akan membawa perkara ini ke ranah hukum.
“Jika dalam waktu dekat hakim tersebut tidak segera mengembalikan seluruh uang yang diambil, kami akan melaporkan kasus ini ke Kapolda NTT,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, hakim Irwahidah belum memberikan keterangan resmi terkait kasus dugaan penipuan yang melibatkan namanya.
*Fenomena Gunung Es*
Kasus yang menimpa SLD bersama 12 warga di Kabupaten Belu dan Malaka ternyata bukan yang pertama. Kasus serupa pernah terjadi di Manggarai Timur pada Juni 2024 lalu.
Sebelumnya, seorang warga Manggarai Timur, Tadeus Melang, melaporkan Irwahidah ke polisi. Tadeus mengaku menyetorkan Rp100 juta dengan janji anaknya akan dibantu lolos tes CPNS di Kejaksaan Agung.
Uang tersebut dijanjikan akan dikembalikan jika anaknya gagal tes. Namun, janji itu diingkari. Irwahidah hanya sempat mengembalikan Rp10 juta pada Februari 2024, lalu melunasi sisanya pada Juni setelah kasus dilaporkan ke polisi.
Laporan Tadeus membuka jalan bagi korban lain untuk bersuara. Fidelis Hardiman dari Manggarai mengaku menyerahkan Rp60 juta, sementara kerabatnya, Lorens Jebagut, membayar Rp138 juta untuk dua anaknya.
Korban lain, Agustinus Nenggor, harus berutang Rp75 juta ke bank demi janji serupa.
Sedangkan Muhammad Nur Ibrahim dari Sambi Rampas menyetor Rp100 juta agar anaknya bisa diterima sebagai sipir di Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut keterangan Fidelis, aksi Irwahidah tidak dilakukan sendirian.
Ia menyebut nama mantan anggota DPRD Manggarai, Rian Mbaut, yang rumahnya kerap dijadikan lokasi pertemuan, sosialisasi, hingga penandatanganan kesepakatan dengan korban.
Kasus Irwahidah menambah daftar panjang persoalan integritas lembaga peradilan. Meski perbuatan tersebut dilakukan pribadi, dampaknya merusak kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan.
Contact Person: Petrus (085282679096)
joSSer ( RH 238 )